Senin, 14 April 2014

Mereka



Mereka
Persahabatan. Kerap kali banyak hal-hal yang terjadi dalam sebuah persahabatan. Sebuah persahabatan tak selamanya berjalan indah. Banyak hambatan-hambatan yang terjadi dalam sebuah persahabatan. Bahkan ada persahabatan yang berakhir dengan tidak indahnya. Biasanya hal tersebut karena adanya pengkhianatan.
            Samsi,Merta,Victory, dan Moly empat sekawan yang sangat dekat sekali. Bersatu bukan karena dikehendaki. Kemana saja mereka menyusur pasti selalu bersama. Tertawa dan menangis sudah sering sekali mereka lewati. Terlahir dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda tapi uniknya kebersamaan mereka yang menjadikan mereka satu. Tak ada yang namanya perbedaan menurut mereka.
            Samsi dan Victory yang memiliki latar belakang keluarga yang hampir mirip bahkan semua orang yang mengetahui itu tidak akan menyangka bahwa kejadian itu bisa terjadi pada mereka berdua. Anak yang ceria, seperti hidup tak punya beban tetapi memikul cobaan yang berat sekali. Masa lalu yang kelam tak menjadi hambatan mereka dalam hidup. Terus maju itu prinsip hidup mereka. Yang berlalu akan menjadi pengalaman sedang yang kedepan akan menjadi masa depan.
            Moly yang sejak kelas 2 SMP sudah ditinggal ayahnya. Moly yakin ayahnya sekarang sudah berada disisi Allah. Hidup dengan tenang disurga. Suara mobil jenazah menjadi ketakutan sendiri bagi Moly. Menurutnya suara itu membawanya kembali pada masa terperih dalam hidupnya. Kini yang menjadi motivasi ia untuk terus berjuang demi masa depan adalah ibunya. Ia tak mau melihat kesedihan diwajah ibunya. Sedangkan Merta yang memiliki keluarga sederhana yang utuh, yang selama ini hidup tentram bersama ayah, ibu, abang, dan kakaknya. Merta adalah satu-satunya teman mereka yang dinilai memiliki masalah yang tidak begitu besar. Merta dengan sifat dewasanya selalu mengalah apabila ada pertengkaran kecil. Merta anak yang begitu ceria. Masalah bukanlah menjadi masalah baginya.
            Dunia ini seakan menjadi milik mereka berempat. Tertawa sesuka mereka tanpa mengira orang suka ataupun tak suka. Berbagi cerita itu yang pasti mereka lakukan. Makan dengan satu piring yang penting harus berempat. Namun begitu, tak selamanya berjalan indah.
“Ly, kamu kenapa diam aja dari tadi?”, Tanya victory kepada Moly
“tak kenapa, lagi tak enak badan”, jawab Moly jutek.                                                    
Setiap pertanyaan selalu dijawab ketus oleh Moly. Apa yang terjadi dengan Moly mereka semua tak ada yang tahu.
            Beberapa hari belakangan sikap Moly tak berubah. Moly tetap cuek dengan keadaan, jutek dan selalu ketus. Samsi dan Merta bingung mengapa Moly jadi berubah seperti ini. Bahkan Samsi dan Merta selalu didiamkan Moly. Semua pertanyaan Samsi dan Merta hanya dijawab sekenanya saja oleh Moly.
“Ly, akhir-akhir ini kamu berubah. Ada apa?”, Tanya Victoy kepada Moly karena Victory yang sangat dekat dengan Moly.
“Aku hanya tak suka dengan sikap Merta dan Samsi”
“Kita berteman berempat tetapi kenapa mereka lebih dekat berdua?”
“Mengapa mereka tak berteman berdua saja kalau begitu?”
“Mereka lebih dekat berdua bukan berempat!”, panjang lebar Moly menjawabnya.
            Ternyata itu yang menjadi permasalahan Moly. Victory menceritakan semua itu kepada Samsi dan Merta. Awalnya mereka menolak pendapat yang dikemukakan Moly. Menurut mereka, mereka tak seperti itu. Keesokan harinya Merta dan Samsi meminta maaf kepada  Moly. Padahal Moly tidak begitu marah kepada mereka, hanya sedikit kesal. Moly juga menyadari bahwa Moly memang masih kekanak-kanakkan sehingga masih ada rasa cemburu seperti itu.
            Sekarang mereka kembali lagi seperti sebelumnya. Tetap bersama dan saling menyadari kesalahan masing-masing. Meski berbeda agama tetapi tak ada yang saling menjatuhkan. Hebatnya Victory yang keras kepala, Moly yang egois, Samsi yang tak mau mengalah dan Merta yang penyabar bisa membentuk jalinan persahabatan yang idealis.
            Susah ataupun senang tetap mereka bersama. Konflik apapun yang terjadi bukan menjadi penghalang untuk mereka tetap bersama. Mencapai satu tujuan adalah cita-cita mereka bersama. Mereka berharap persahabatan ini takkan berakhir karena pengkhianatan. Biarkan persahabatan ini berakhir karena kehendak Tuhan. Cinta dan cita adalah satu tujuan mereka. Perbedaan bukan menjadi suatu masalah. Ia itulah Mereka. Mereka hidup karena dunia mereka.

Jatuh Cinta



Jatuh Cinta
“Tiktoktiktok”, alarm berbunyi. Akhirnya hari ini telah tiba. Hari pertama ku injakkan kakiku di SMA Pelita. Semangatku pagi ini luar biasa. Mandi kemudian bersiap lalu sarapan. Ayah dan ibuku telah menungguku di meja makan. Aku anak tunggal dikeluarga ini. Dimanja tiada tara.
“ayo sarapan nak”, ujar ibu.
“iya ibuku cantik”, dengan senyum manis kujawab lalu disambut senyum lebar oleh ibu. Ayah hanya tersenyum. Selesai sudah sarapanku pagi ini kemudian ayah mengantarkanku ke tempat yang akan kujalani selama tiga tahun kedepannya nanti.
Hari ini masa orientasi siswa. Di tengah lapangan dengan terik matahari yang mungkin saja bisa membakar tubuh siswa siswi baru yang dikumpul dilapangan depan SMA Pelita. Diantara mereka-mereka tak satupun yang kukenal. Arahan bertubi-tubi datang dari kakak senior hingga akhirnya
“Eka Kharisma, kelompok enam”
Itu namaku. Aku adalah anggota kelompok enam. Setelah semua nama siswa dipanggil, kami dibariskan sesuai dengan kelompok masing-masing.
            Sungguh dalam kelompok ini aku hanya diam membisu karena tak satupun yang kukenal. Aku tergolong orang yang pendiam dan pemalu tapi tak berarti sombong.
“Hallo salam kenal namaku Mini”, kata sesorang yang mengulurkan namanya didepanku.
“Hai, salam kenal kembali. Namaku eka”, jawabku sambil kusambut uluran tangannya. Dialah orang pertama yang kukenal disini. Dengan wajah bulat, mata kecil, rambut sebahu dan badan yang mungil sesuai dengan namanya Mini Mursalina. Teman pertamaku, anak yang super ramah dan menyenangkan.
            Arahan dari kakak pemandu kelompok, untuk membawa alat-alat yang disebutkan. Begitu banyak peralatan yang akan dibawa besok.
“oke adek-adek semua sekali lagi kakak ingatkan jangan ada satupun peralatan yang tidak kalian bawa”
“baiklah sampai disini dan kembali lagi besok disini pukul 06.00 Wib”, panjang lebar penutupan dari kakak senior dan hanya itu yang semangat kudengar.
            “ka, mau ikut aku cari peralatannya nggak?”, Tanya mini mengejutkan.
Lalu ku iyakan tawaran Mini dan kami melaju pergi kepasar bersama motor kebanggan Mini. Semua pasar kami lewati dan kami memilih pasar yang menurutku dan Mini pasar itu menjual barang dengan harga murah.
“ka, hampir selesai nih peralatan yang kita cari”, seru Mini.
“Iya Min barang terakhir yang kita cari kaos kaki hitam panjang Min belum ada dan kurasa disini nggak ada deh Min”, kataku.
“kita cari ditempat lain aja yuk ka”, ajakku kepada Mini.
Setelah Mini mengiyakan ajakanku lalu kami bejalan kekasir.
“triiiinnnnnggggg”, telepon genggam Mini berbunyi. Dan ternyata ibunya yang menelepon.
“ha? Iya ma, Mini segera pulang sekarang”, jawab mini khawatir.
“Ka, kita harus cepat pulang sekarang adikku kecelakaan”, Mini menarik tanganku dan tiba-tiba
“bruuuk”, sesuatu barang jatuh kelantai tepat dihadapanku. Aku menabrak sesorang dan kurasa barang yang jatuh itu barang yang dipegangnya. Ku ambil barang itu lalu ku usap-usap dan ku kembalikan buku yang jatuh itu kepada seseorang yang ku tabrak tadi dengan perasaan yang setengah takut. Diambilnya buku itu lalu pergi begitu saja dengan tatapan dingin. Mengerikan. Lalu kamipun pulang.
            Sampaiku dirumah. Malam ini ku persiapkan peralatan untuk besok. Sejak kejadian menabrak orang itu pikiranku tak beralih kepadanya. Entah untuk apa ku mengingatnya padahal tak kukenali siapa dia. Wajah dingin yang menurutku dia memiliki gaya tarik tersendiri. Bagaikan magnet. Semakin tinggi khayalanku dan terbawa dalam mimpi. Sejak itu pula aku tertidur lelap.
            Pagi sekali aku tiba disekolah. Menunggu Mini yang belum jua sampai. Aku mengelilingi sekolah ini sambil menunggu kedatangan Mini. Dibawah pohon yang dekat dengan perpustakaan kulihat sosok lelaki yang sangat ku ingat wajahnya dan belum asing dikepalaku. Oh ternyata dia kakak kelasku. Sesorang yang kutabrak kemarin dia adalah kakak kelasku. Dan ternyata dia juga sekolah di SMA Pelita ini. Dunia memang sempit. Ada perasaan senang tapi aku tak tahu mengapa. Setelah kudapati dia menatapku akupun memalingkan wajah dan kembali keruanganku.
“hei Ka”
“kemana saja sih kamu”. Tanya Mini.
“karena kamu datangnya lama aku mengelilingi sekolah kita ini”,jawabku.
            Kembali lagi kami dikumpulkan ditengah lapangan dengan terik matahari yang mencekam. Ini hari kedua dan menjadi hari terakhir masa orientasiku. Akupun menceritakan pertemuan kedua kalinya dengan cowok itu kepada Mini. Kuceritakan semua rasa dagdigdug ku saat melihatnya dan
“kamu jatuh cinta deh”, sambut Mini.
Setelah mendengar seruan Mini itu lalu aku berpikir,”Apa benar itu jatuh cinta?”. Selama ini aku tak pernah memiliki pacar. Bahkan teman lelakipun jarang.
            Aldo Adrian ternyata itu namanya. Dia juga kakak OSIS dan menguji kami hari ini. Wajahnya memang dingin tapi aku selalu ingin melihatnya.
“Ah perasaan apa ini”, tanyaku dalam hati.
Ternyata diam-diam Mini tau bahwa aku memperhatikan kak Aldo. Mini tersenyum dan berkata
“eheeeemmmm”
Aku malu. Setelah beberapa rangkaian acara hari ini terlewati, kamipun mengadakan upacara penutupan dan aku resmi menjadi siswa SMA Pelita.
            Aku pulang. Tak kuhiraukan perutku yang lapar.sesegera mungkin kubuka laptop dan kucari facebook Aldo Adrian dan ”ketemu” . ternyata kak Aldo sedang online.
“Kak”, aku mencoba membuka obrolan
Tak berapa lama kemudian …
“Iya” , kak Aldo membalas dan aku sangat senang.
Panjang lebar percakapanku dengan kak Aldo. Ternyata kak Aldo tak secuek dan tak sedingin yang aku dan Mini bayangkan. Kak Aldo sempat memberiku nomor teleponnya. Sesegera mungkin kuraih Handphone ku dan kusimpan nomor kak Aldo. Aku luar biasa senang. Berawal dari facebook dan pertukaran nomor telepon, aku dan kak Aldo semakin dekat dan aku rasa aku sedang “Jatuh Cinta”

Kotaku Nasibku



Kotaku Nasibku
            Malang, dikota ini aku dilahirkan. Hidup dengan keluarga yang utuh dan bahagia. Aku dibesarkan dan dimanja dengan kedua orangtuaku. Aku bahagia hidup dengan keluarga yang damai seperti ini. Narnia Bella nama yang menurutku hadiah terindah dari hasil cinta ayah dan ibuku.
            Setiap harinya sarapan selalu dihidangkan dimeja makan khusus untukku dan ayahku. Menurutku ibu adalah ibu yang paling sempurna didunia ini. Menurutku ayah tak pernah menyesal memiliki istri seperti ibu. Cantik, lembut, pintar masak. Semua lelaki bahkan ingin memiliki istri seperti ibu. Keluargaku sangat tentram.
            Aku semakin dewasa sampai pada akhirnya aku mengenal kata “Hancur”. Sepertinya kini hidupku sama dengan kota kelahiranku “Malang”. Tak adalagi Hal-hal indah yang kudapat setiap harinya. Kini cinta yang mereka tanam mungkin sudah layu.
            Ibuku menjadi korban kekerasan ayah. Tapi herannya ibu selalu bersabar menghadapi ayah.
“bruuuk pranngg”, suara yang tak pernah asing lagi ku dengar ditelinga ini. Suara yang hampir tiap hari kudengar.
“sudah ku katakan jangan pernah mengatur aku!”, suara ayah meninggi bahkan sangat tinggi.
Tak lain mereka kembali berperang lagi. Tak kuhiraukan. Aku hanya bisa terdiam dikamar sambil mendengarkan musik keras bahkan sangat keras. Air dipipiku tak ada hentinya mengalir. Beberapa saat kemudian kuhentikan musik ditelingaku. Hening. Suasana mereda. Tak terdengar lagi hempasan-hempasan piring. Aku sedikit tenang meski khawatir keadaan ibuku. Terus berbaring dan aku tertidur.
            Keesokan paginya aku bangun. Sesegera mungkin kupersiapkan semua perlengkapan sekolahku. Tak ada kulihat sosok ayah. Mungkin dia pergi setelah kejadian tadi malam dan itu memenag kebiasaannya. Kuhampiri ibu diruang makan. Ibu tak pernah absen menyiapkan sarapan meski sekarang hanya aku yang merasakan lezatnya makanan ibu.
“bu, ibu ditampar lagi?”, tanyaku khawatir sambil memegang wajah ibu.
“tidak kok nak, ibu tak mengapa”. Jawab ibu sambil menurunkan tanganku yang mengusap pipinya.
“ayah sudah sangat keterlaluan bu”, seruku
“tidak nak. Ayahmu hanya sedang bermasalah saja”,jawab ibu membela.
Ibu selalu saja menbela ayah meski sudah berkali-kali ditampari. Aku tak berani lagi melanjutkan omonganku karena akan sia-sia.
            Aku tiba disekolah. Beruntungnya aku termasuk salah satu siswa pintar kata teman-temanku. Tetapi menurutku apalah arti kepintaran yang aku miliki sedang aku haus akan kasih sayang kedua orangtuaku. Aku merindu saat hangat bersama ayah dan ibuku. Mungkin kejadian indah beberapa tahun silam hanya kembali lagi dalam mimpi.
            Setiap hari aku harus mendengar lemparan-lemparan dan pecahan-pecahan. Aku sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin membela ibu tapi tak ada keberanianku. Apa yang harus kulakukan untuk ibu. Sempat terpikir olehku bagaimana nasibku apabila ibu meninggalkanku.
            Suatu hari, sepulang sekolah suasana rumah tak seperti biasanya. Hampa tetapi lebih terlihat rapi dan bersih. Makanan dimeja makan terhidang lebih banyak. Makanan kesukaanku dan makanan kesukaan ayahku.
“apakah ayah sudah berbaikan dengan ibu?”
“apakah hari ini kami akan makan bertiga?”, tanyaku dalam hati.
Bergegas kucari ibu untuk menanyakan pertanyaan yang muncul dibenakku tadi. Dikamar tak kutemui ibu yang kutemui hanya sepucuk kertas bertuliskan pesan-pesan ibu untukku. Aku keluar dan menuju kamar mandi yang kulihat hanyalah sekujur tubuh yang sudah kaku.
“ibuuuuuuuuuuuuuu”, jeritku sangat keras.
Ibu telah terbaring tak berdaya lagi. Air mata terus membanjiri pipiku. Mengapa semua ini terjadi kepadaku? Sosok wanita yang aku cinta kini sudah tak bernyawa.
            Rumahku penuh. Suasana berkabung. Ayah tak kelihatan. Aku sangat membenci ayah. Tak ada lagi kebaikan yang dapat kunilai dari sosok ayahku itu. Tak berapa lama ayah pulang. Pulang dengan wajah datar tanpa kesedihan. Wajah tanpa rasa bersalah. Aku tak peduli yang kupeduli adalah ibuku yang sudah kaku. Aku hanya ikhlas menerima cobaan ini.
            Setiap hari selalu ku kunjungi rumah baru ibu. Aku yakin ibu sudah tersenyum bahagia diatas sana. Ibu sudah tenang disisiNya. Sepulang dari makam ibu, kulihat ayah bersama seorang wanita muda diruang tamu. Duduk berduaan. Kemana hati ayah? Baru saja ibu pergi. Aku marah tetapi tak ku hiraukan. Tapi berkali-kali ayah membawa wanita itu kerumah.
            Hari ini dia datang lagi dan kali ini emosiku begitu memuncak dan tak tertahankan. Aku keluar dari kamar dan kutemui ayah. Berdiri dihadapannya sambil menangis dan
“plaakk”, kutampari wajah ayah.
Air mataku semakin deras mengalir. Apa yang baru saja kulakukan? Setan apa yang telah merasuki tubuhku? Berdosakah aku? Aku hanya ingin membalas sakit hati ibu selama ini. Ayah berdiri sejenak diam dan membalas tamparanku lebih keras. Aku terhenyak dan tak bisa berkata-kata. Berlari dan menutup pintu kamar dengan keras.
            Kutuliskan sebuah surat untuk ayahku. Surat maafku, surat yang menyatakan aku menyayanginya. Walau bagaimanapun ayah yang bejat itu tetaplah ayahku. Pagi ini sudah kutekatkan untuk meninggalkan surat ini untuk ayah. Ini kotaku tetapi mungkin bukan disinilah hidupku. Keretaku melaju.

Kamis, 10 April 2014

Indonesia Raya

Lirik Lagu Indonesia Raya - W.R. Supratman
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibukuIndonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseruIndonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya