Kotaku Nasibku
Malang, dikota ini aku dilahirkan.
Hidup dengan keluarga yang utuh dan bahagia. Aku dibesarkan dan dimanja dengan
kedua orangtuaku. Aku bahagia hidup dengan keluarga yang damai seperti ini.
Narnia Bella nama yang menurutku hadiah terindah dari hasil cinta ayah dan
ibuku.
Setiap harinya sarapan selalu
dihidangkan dimeja makan khusus untukku dan ayahku. Menurutku ibu adalah ibu
yang paling sempurna didunia ini. Menurutku ayah tak pernah menyesal memiliki
istri seperti ibu. Cantik, lembut, pintar masak. Semua lelaki bahkan ingin
memiliki istri seperti ibu. Keluargaku sangat tentram.
Aku semakin dewasa sampai pada
akhirnya aku mengenal kata “Hancur”. Sepertinya kini hidupku sama dengan kota
kelahiranku “Malang”. Tak adalagi Hal-hal indah yang kudapat setiap harinya.
Kini cinta yang mereka tanam mungkin sudah layu.
Ibuku menjadi korban kekerasan ayah.
Tapi herannya ibu selalu bersabar menghadapi ayah.
“bruuuk
pranngg”, suara yang tak pernah asing lagi ku dengar ditelinga ini. Suara yang
hampir tiap hari kudengar.
“sudah
ku katakan jangan pernah mengatur aku!”, suara ayah meninggi bahkan sangat
tinggi.
Tak
lain mereka kembali berperang lagi. Tak kuhiraukan. Aku hanya bisa terdiam
dikamar sambil mendengarkan musik keras bahkan sangat keras. Air dipipiku tak
ada hentinya mengalir. Beberapa saat kemudian kuhentikan musik ditelingaku.
Hening. Suasana mereda. Tak terdengar lagi hempasan-hempasan piring. Aku
sedikit tenang meski khawatir keadaan ibuku. Terus berbaring dan aku tertidur.
Keesokan paginya aku bangun.
Sesegera mungkin kupersiapkan semua perlengkapan sekolahku. Tak ada kulihat
sosok ayah. Mungkin dia pergi setelah kejadian tadi malam dan itu memenag
kebiasaannya. Kuhampiri ibu diruang makan. Ibu tak pernah absen menyiapkan
sarapan meski sekarang hanya aku yang merasakan lezatnya makanan ibu.
“bu,
ibu ditampar lagi?”, tanyaku khawatir sambil memegang wajah ibu.
“tidak
kok nak, ibu tak mengapa”. Jawab ibu sambil menurunkan tanganku yang mengusap
pipinya.
“ayah
sudah sangat keterlaluan bu”, seruku
“tidak
nak. Ayahmu hanya sedang bermasalah saja”,jawab ibu membela.
Ibu
selalu saja menbela ayah meski sudah berkali-kali ditampari. Aku tak berani
lagi melanjutkan omonganku karena akan sia-sia.
Aku tiba disekolah. Beruntungnya aku
termasuk salah satu siswa pintar kata teman-temanku. Tetapi menurutku apalah
arti kepintaran yang aku miliki sedang aku haus akan kasih sayang kedua
orangtuaku. Aku merindu saat hangat bersama ayah dan ibuku. Mungkin kejadian
indah beberapa tahun silam hanya kembali lagi dalam mimpi.
Setiap hari aku harus mendengar
lemparan-lemparan dan pecahan-pecahan. Aku sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Aku ingin membela ibu tapi tak ada keberanianku. Apa yang harus kulakukan untuk
ibu. Sempat terpikir olehku bagaimana nasibku apabila ibu meninggalkanku.
Suatu hari, sepulang sekolah suasana
rumah tak seperti biasanya. Hampa tetapi lebih terlihat rapi dan bersih.
Makanan dimeja makan terhidang lebih banyak. Makanan kesukaanku dan makanan
kesukaan ayahku.
“apakah
ayah sudah berbaikan dengan ibu?”
“apakah
hari ini kami akan makan bertiga?”, tanyaku dalam hati.
Bergegas
kucari ibu untuk menanyakan pertanyaan yang muncul dibenakku tadi. Dikamar tak
kutemui ibu yang kutemui hanya sepucuk kertas bertuliskan pesan-pesan ibu
untukku. Aku keluar dan menuju kamar mandi yang kulihat hanyalah sekujur tubuh
yang sudah kaku.
“ibuuuuuuuuuuuuuu”,
jeritku sangat keras.
Ibu
telah terbaring tak berdaya lagi. Air mata terus membanjiri pipiku. Mengapa
semua ini terjadi kepadaku? Sosok wanita yang aku cinta kini sudah tak
bernyawa.
Rumahku penuh. Suasana berkabung.
Ayah tak kelihatan. Aku sangat membenci ayah. Tak ada lagi kebaikan yang dapat
kunilai dari sosok ayahku itu. Tak berapa lama ayah pulang. Pulang dengan wajah
datar tanpa kesedihan. Wajah tanpa rasa bersalah. Aku tak peduli yang kupeduli
adalah ibuku yang sudah kaku. Aku hanya ikhlas menerima cobaan ini.
Setiap hari selalu ku kunjungi rumah
baru ibu. Aku yakin ibu sudah tersenyum bahagia diatas sana. Ibu sudah tenang
disisiNya. Sepulang dari makam ibu, kulihat ayah bersama seorang wanita muda
diruang tamu. Duduk berduaan. Kemana hati ayah? Baru saja ibu pergi. Aku marah
tetapi tak ku hiraukan. Tapi berkali-kali ayah membawa wanita itu kerumah.
Hari ini dia datang lagi dan kali
ini emosiku begitu memuncak dan tak tertahankan. Aku keluar dari kamar dan
kutemui ayah. Berdiri dihadapannya sambil menangis dan
“plaakk”,
kutampari wajah ayah.
Air
mataku semakin deras mengalir. Apa yang baru saja kulakukan? Setan apa yang
telah merasuki tubuhku? Berdosakah aku? Aku hanya ingin membalas sakit hati ibu
selama ini. Ayah berdiri sejenak diam dan membalas tamparanku lebih keras. Aku
terhenyak dan tak bisa berkata-kata. Berlari dan menutup pintu kamar dengan
keras.
Kutuliskan sebuah surat untuk
ayahku. Surat maafku, surat yang menyatakan aku menyayanginya. Walau
bagaimanapun ayah yang bejat itu tetaplah ayahku. Pagi ini sudah kutekatkan
untuk meninggalkan surat ini untuk ayah. Ini kotaku tetapi mungkin bukan
disinilah hidupku. Keretaku melaju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar