Senin, 14 April 2014

Kotaku Nasibku



Kotaku Nasibku
            Malang, dikota ini aku dilahirkan. Hidup dengan keluarga yang utuh dan bahagia. Aku dibesarkan dan dimanja dengan kedua orangtuaku. Aku bahagia hidup dengan keluarga yang damai seperti ini. Narnia Bella nama yang menurutku hadiah terindah dari hasil cinta ayah dan ibuku.
            Setiap harinya sarapan selalu dihidangkan dimeja makan khusus untukku dan ayahku. Menurutku ibu adalah ibu yang paling sempurna didunia ini. Menurutku ayah tak pernah menyesal memiliki istri seperti ibu. Cantik, lembut, pintar masak. Semua lelaki bahkan ingin memiliki istri seperti ibu. Keluargaku sangat tentram.
            Aku semakin dewasa sampai pada akhirnya aku mengenal kata “Hancur”. Sepertinya kini hidupku sama dengan kota kelahiranku “Malang”. Tak adalagi Hal-hal indah yang kudapat setiap harinya. Kini cinta yang mereka tanam mungkin sudah layu.
            Ibuku menjadi korban kekerasan ayah. Tapi herannya ibu selalu bersabar menghadapi ayah.
“bruuuk pranngg”, suara yang tak pernah asing lagi ku dengar ditelinga ini. Suara yang hampir tiap hari kudengar.
“sudah ku katakan jangan pernah mengatur aku!”, suara ayah meninggi bahkan sangat tinggi.
Tak lain mereka kembali berperang lagi. Tak kuhiraukan. Aku hanya bisa terdiam dikamar sambil mendengarkan musik keras bahkan sangat keras. Air dipipiku tak ada hentinya mengalir. Beberapa saat kemudian kuhentikan musik ditelingaku. Hening. Suasana mereda. Tak terdengar lagi hempasan-hempasan piring. Aku sedikit tenang meski khawatir keadaan ibuku. Terus berbaring dan aku tertidur.
            Keesokan paginya aku bangun. Sesegera mungkin kupersiapkan semua perlengkapan sekolahku. Tak ada kulihat sosok ayah. Mungkin dia pergi setelah kejadian tadi malam dan itu memenag kebiasaannya. Kuhampiri ibu diruang makan. Ibu tak pernah absen menyiapkan sarapan meski sekarang hanya aku yang merasakan lezatnya makanan ibu.
“bu, ibu ditampar lagi?”, tanyaku khawatir sambil memegang wajah ibu.
“tidak kok nak, ibu tak mengapa”. Jawab ibu sambil menurunkan tanganku yang mengusap pipinya.
“ayah sudah sangat keterlaluan bu”, seruku
“tidak nak. Ayahmu hanya sedang bermasalah saja”,jawab ibu membela.
Ibu selalu saja menbela ayah meski sudah berkali-kali ditampari. Aku tak berani lagi melanjutkan omonganku karena akan sia-sia.
            Aku tiba disekolah. Beruntungnya aku termasuk salah satu siswa pintar kata teman-temanku. Tetapi menurutku apalah arti kepintaran yang aku miliki sedang aku haus akan kasih sayang kedua orangtuaku. Aku merindu saat hangat bersama ayah dan ibuku. Mungkin kejadian indah beberapa tahun silam hanya kembali lagi dalam mimpi.
            Setiap hari aku harus mendengar lemparan-lemparan dan pecahan-pecahan. Aku sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin membela ibu tapi tak ada keberanianku. Apa yang harus kulakukan untuk ibu. Sempat terpikir olehku bagaimana nasibku apabila ibu meninggalkanku.
            Suatu hari, sepulang sekolah suasana rumah tak seperti biasanya. Hampa tetapi lebih terlihat rapi dan bersih. Makanan dimeja makan terhidang lebih banyak. Makanan kesukaanku dan makanan kesukaan ayahku.
“apakah ayah sudah berbaikan dengan ibu?”
“apakah hari ini kami akan makan bertiga?”, tanyaku dalam hati.
Bergegas kucari ibu untuk menanyakan pertanyaan yang muncul dibenakku tadi. Dikamar tak kutemui ibu yang kutemui hanya sepucuk kertas bertuliskan pesan-pesan ibu untukku. Aku keluar dan menuju kamar mandi yang kulihat hanyalah sekujur tubuh yang sudah kaku.
“ibuuuuuuuuuuuuuu”, jeritku sangat keras.
Ibu telah terbaring tak berdaya lagi. Air mata terus membanjiri pipiku. Mengapa semua ini terjadi kepadaku? Sosok wanita yang aku cinta kini sudah tak bernyawa.
            Rumahku penuh. Suasana berkabung. Ayah tak kelihatan. Aku sangat membenci ayah. Tak ada lagi kebaikan yang dapat kunilai dari sosok ayahku itu. Tak berapa lama ayah pulang. Pulang dengan wajah datar tanpa kesedihan. Wajah tanpa rasa bersalah. Aku tak peduli yang kupeduli adalah ibuku yang sudah kaku. Aku hanya ikhlas menerima cobaan ini.
            Setiap hari selalu ku kunjungi rumah baru ibu. Aku yakin ibu sudah tersenyum bahagia diatas sana. Ibu sudah tenang disisiNya. Sepulang dari makam ibu, kulihat ayah bersama seorang wanita muda diruang tamu. Duduk berduaan. Kemana hati ayah? Baru saja ibu pergi. Aku marah tetapi tak ku hiraukan. Tapi berkali-kali ayah membawa wanita itu kerumah.
            Hari ini dia datang lagi dan kali ini emosiku begitu memuncak dan tak tertahankan. Aku keluar dari kamar dan kutemui ayah. Berdiri dihadapannya sambil menangis dan
“plaakk”, kutampari wajah ayah.
Air mataku semakin deras mengalir. Apa yang baru saja kulakukan? Setan apa yang telah merasuki tubuhku? Berdosakah aku? Aku hanya ingin membalas sakit hati ibu selama ini. Ayah berdiri sejenak diam dan membalas tamparanku lebih keras. Aku terhenyak dan tak bisa berkata-kata. Berlari dan menutup pintu kamar dengan keras.
            Kutuliskan sebuah surat untuk ayahku. Surat maafku, surat yang menyatakan aku menyayanginya. Walau bagaimanapun ayah yang bejat itu tetaplah ayahku. Pagi ini sudah kutekatkan untuk meninggalkan surat ini untuk ayah. Ini kotaku tetapi mungkin bukan disinilah hidupku. Keretaku melaju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar